BukaBerita (Nasional) ~ Politikus Golkar Zulfadhli secara terbuka mengritik Liga Primer Indonesia (LPI) dalam rapat dengar pendapat umum Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan PT Liga Primer Indonesia. Zulfadhli menyatakan, meski gagasan LPI bagus, namun cara yang dilakukan jadi tak simpatik.
Zulfadhli menyatakan, pemaparan Direktur PT LPI, Wijayanto, terkesan cukup bagus karena menginginkan ada kompetisi yang sehat seperti fair play. "Cuma kalau membaca buku putihnya, saya jadi tak simpatik dengan LPI meski gagasannya baik," kata Zulfadhli dalam rapat di gedung DPR, Jakarta, Selasa 1 Maret 2011. "LPI terlalu menjelek-jelekkan PSSI, padahal ingin mendapatkan pengakuan dari PSSI."
Dia menyarankan LPI menggunakan cara-cara yang lebih baik untuk bisa menarik simpati. "Kalau memang merasa LPI ini baik, jalan terus. Tapi, harus dipahami juga bahwa ada aturan bersama. Seperti upaya untuk mendapatkan pengakuan dari FIFA, terus upayakan lobi. Bukan dengan cara membunuh karakter atau membuka aib seperti yang ada di buku putih," tuturnya.
Nasrullah dari Partai Amanat Nasional berpendapat senada. Buku putih LPI membuat penilaian yang wajar jika PSSI menganggap LPI sebagai sandungan.
"Kalau LPI memang sebagai wahana hiburan, itu tidak ada masalah. Tapi, mesti lihat aturan. Jika berharap liga diakui PSSI, mestinya mengacu pada PSSI," kata Nasrullah.
Nada pembelaan muncul dari politikus Demokrat Gede Pasek Suardika. Pasek memahami mengapa ada ganjalan-ganjalan seperti itu. "LPI baru terbentuk, wajar jika ada kekurangan," katanya.
Pasek berharap, LPI bisa memperbaiki diri ke depan. Dia tidak ingin terbentuknya LPI karena reaksi spontan, seperti terkesan dibentuk oleh Arifin Panigoro untuk bisa menjadi pimpinan PSSI.
Sebelumnya, Wijayanto, Direktur Liga Primer Indonesia, memaparkan visi dan misi LPI adalah menjadikan sepakbola sebagai sebuah industri besar seperti di Inggris. Di Inggris, kata Wijayanto, awalnya sepakbola murni ditangani asosiasi.
Belakangan muncul English Premier League yang ternyata mampu meningkatkan nilai kontrak cukup besar. "Jadi, kompetisi profesional harus dikelola secara mandiri," katanya.
Wijayanto membantah kemunculan LPI adalah untuk mengangkangi PSSI. "Kami tetap ingin di-govern oleh PSSI," katanya.
"Kami mengajukan untuk menjadi anggota PSSI, namun menjelang putaran kompetisi, tak ada tanggapan. Akhirnya bertemu menteri, kami bernaung di bawah Badan Olahraga Profesional Indonesia," katanya.
Zulfadhli menyatakan, pemaparan Direktur PT LPI, Wijayanto, terkesan cukup bagus karena menginginkan ada kompetisi yang sehat seperti fair play. "Cuma kalau membaca buku putihnya, saya jadi tak simpatik dengan LPI meski gagasannya baik," kata Zulfadhli dalam rapat di gedung DPR, Jakarta, Selasa 1 Maret 2011. "LPI terlalu menjelek-jelekkan PSSI, padahal ingin mendapatkan pengakuan dari PSSI."
Dia menyarankan LPI menggunakan cara-cara yang lebih baik untuk bisa menarik simpati. "Kalau memang merasa LPI ini baik, jalan terus. Tapi, harus dipahami juga bahwa ada aturan bersama. Seperti upaya untuk mendapatkan pengakuan dari FIFA, terus upayakan lobi. Bukan dengan cara membunuh karakter atau membuka aib seperti yang ada di buku putih," tuturnya.
Nasrullah dari Partai Amanat Nasional berpendapat senada. Buku putih LPI membuat penilaian yang wajar jika PSSI menganggap LPI sebagai sandungan.
"Kalau LPI memang sebagai wahana hiburan, itu tidak ada masalah. Tapi, mesti lihat aturan. Jika berharap liga diakui PSSI, mestinya mengacu pada PSSI," kata Nasrullah.
Nada pembelaan muncul dari politikus Demokrat Gede Pasek Suardika. Pasek memahami mengapa ada ganjalan-ganjalan seperti itu. "LPI baru terbentuk, wajar jika ada kekurangan," katanya.
Pasek berharap, LPI bisa memperbaiki diri ke depan. Dia tidak ingin terbentuknya LPI karena reaksi spontan, seperti terkesan dibentuk oleh Arifin Panigoro untuk bisa menjadi pimpinan PSSI.
Sebelumnya, Wijayanto, Direktur Liga Primer Indonesia, memaparkan visi dan misi LPI adalah menjadikan sepakbola sebagai sebuah industri besar seperti di Inggris. Di Inggris, kata Wijayanto, awalnya sepakbola murni ditangani asosiasi.
Belakangan muncul English Premier League yang ternyata mampu meningkatkan nilai kontrak cukup besar. "Jadi, kompetisi profesional harus dikelola secara mandiri," katanya.
Wijayanto membantah kemunculan LPI adalah untuk mengangkangi PSSI. "Kami tetap ingin di-govern oleh PSSI," katanya.
"Kami mengajukan untuk menjadi anggota PSSI, namun menjelang putaran kompetisi, tak ada tanggapan. Akhirnya bertemu menteri, kami bernaung di bawah Badan Olahraga Profesional Indonesia," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar