BukaBerita - Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai wacana referendum yang digaungkan sebagian besar masyarakat Yogyakarta saat ini dalam menentukan gubernur dan wakil gubernur bukan solusi yang tepat.
Referendum tidak akan memberikan pendidikan politik ataupun demokrasi kepada masyarakat luas. Cara yang lebih tepat untuk menjawab polemik adalah adanya political will dari masing-masing elit politik yang berkepentingan.
Arie Sudjito menyanyangkan dengan munculnya wacana referendum. Sebab, wacana ini sudah berada di luar konteks tentang perdebatan keistimewaan.
"Marilah kita memberikan makna demokrasi yang baru. Karena tidak bijaksana juga ketika memaknai sejarah tanpa melihat dinamika sosial politik yang berkembang. Karena hal ini sama saja disebut dengan konservatisme," kata Arie Sudjito, di Yogyakarta.
Menurut dia, referendum dinilai bisa menjadi blunder bagi kehidupan demokrasi dan sosial politik yang ada. Referendum tidak akan memberikan pendidikan demokrasi bagi masyarakat. Referendum pun dinilai sangat rentan dengan konflik kepentingan.
"Lagipula, seandainya referendum digolkan, justru memberikan pelajaran bagi daerah lain yang juga memilih referendum. Nanti sedikit-sedikit referendum. Dan ini sangat tidak baik untuk kehidupan bangsa," ujarnya.
Yang penting untuk diperhatikan adalah memaknai keistimewaan dari Yogyakarta. Keistimewaan bukan hanya dimaknai dalam konteks demokrasi prosedural, yang hanya memperhatikan proses pemilihan kepala daerah. Menurut Arie, cara yang paling tepat adalah meningkatkan komunikasi politik dari masing-masing elit politik yang berkepentingan. Hal itu memerlukan political will dari masing-masing elit politik.
"Dalam hal ini yang berkepentingan adalah mendagri dan Presiden, Sri Sultan HB X, DPR, dan DPRD. Di mana keempat pihak itu merupakan representasi masyarakat Indonesia," ujarnya.
Referendum tidak akan memberikan pendidikan politik ataupun demokrasi kepada masyarakat luas. Cara yang lebih tepat untuk menjawab polemik adalah adanya political will dari masing-masing elit politik yang berkepentingan.
Arie Sudjito menyanyangkan dengan munculnya wacana referendum. Sebab, wacana ini sudah berada di luar konteks tentang perdebatan keistimewaan.
"Marilah kita memberikan makna demokrasi yang baru. Karena tidak bijaksana juga ketika memaknai sejarah tanpa melihat dinamika sosial politik yang berkembang. Karena hal ini sama saja disebut dengan konservatisme," kata Arie Sudjito, di Yogyakarta.
Menurut dia, referendum dinilai bisa menjadi blunder bagi kehidupan demokrasi dan sosial politik yang ada. Referendum tidak akan memberikan pendidikan demokrasi bagi masyarakat. Referendum pun dinilai sangat rentan dengan konflik kepentingan.
"Lagipula, seandainya referendum digolkan, justru memberikan pelajaran bagi daerah lain yang juga memilih referendum. Nanti sedikit-sedikit referendum. Dan ini sangat tidak baik untuk kehidupan bangsa," ujarnya.
Yang penting untuk diperhatikan adalah memaknai keistimewaan dari Yogyakarta. Keistimewaan bukan hanya dimaknai dalam konteks demokrasi prosedural, yang hanya memperhatikan proses pemilihan kepala daerah. Menurut Arie, cara yang paling tepat adalah meningkatkan komunikasi politik dari masing-masing elit politik yang berkepentingan. Hal itu memerlukan political will dari masing-masing elit politik.
"Dalam hal ini yang berkepentingan adalah mendagri dan Presiden, Sri Sultan HB X, DPR, dan DPRD. Di mana keempat pihak itu merupakan representasi masyarakat Indonesia," ujarnya.
sumber: vivanews
0 komentar:
Posting Komentar